Aku berlari secepatnya. Mencari jalan keluar dari tempat membingungkan ini. Baju tidur tipisku berkibar tertiup angin malam. Siapa yang membiarkan jendela-jendela ini terbuka? Anak-anak bodoh itu. Tak apa, ini akan membuat rencanaku berhasil lebih cepat. Aku orang baik, kok. Aku tidak ingin anak-anak jahat itu terlalu kesakitan. Walaupun mereka telah menyakitiku begitu parah.
Aku hampir mencapai ruang depan. Sudah bisa kulihat pintu masuk rumah ini. Perlahan-lahan kulambatkan jalanku. Aku tidak ingin rencanaku rusak di saat-saat terakhir. Kutajamkan telingaku. Aku tidak mendengar suara makhluk hidup satupun. Pertanda baik. Aku sudah mendengar keresekan kecil suara api yang perlahan. Bau asap sudah tercium. Tak kusangka asap merambat secepat ini. Bukan masalah sama sekali tentunya, asal aku bisa lebih cepat.
Untung aku hanya mengenakan sepatu tipisku. Suara kakiku hampir-hampir tak terdengar sama sekali. Aku sudah mencapai pintu depan. Bau asap sudah sangat tercium di hidungku sekarang. Kuhirup dengan perasaan puas. Bukankah ini yang mereka minta?
Suara-suara tak berguna itu masih bisa kudengar samar-samar saat berjalan kembali ke asrama. Muka aneh, lah. Sakit kulit, lah. Itu bagian dari keseharianku. Seperti udara yang kuhirup sehari-hari. Aku akan heran kalau suara-suara itu tidak muncul dalam sehari.
Duk!
Sebuah bola basket mengenai pundakku.
“Sori! Sumpah gue gak sengaja. Jangan marah doong. Nanti lo ngedoain muka gue jadi kena kutukan kayak elo lagi.” Seorang anak laki-laki tidak sengaja melempar bolanya kepadaku. Kuterima maafnya, tapi perkataannya terlalu panjang.
“Ini luka bakar…” jawabku pelan. Sesuatu yang sudah lelah kukatakan sehingga aku lebih memilih diam saja pada sebagian besar waktu.
“Oh bisa ngomong juga lo? Luka bakar ya? Haha bisa sampe gitu ya,” nadanya masih menyebalkan.
“Kalo apinya parah ya bisa lebih parah lagi,” jawabku kesal. Aku melihat teman-temannya bermain basket mendekati kami.
“Jadi apinya parah? Kok elo selamat sih?” kata seorang temannya. Nadanya juga menyebalkan.
“Iya nih, jangan-jangan elo ditolong makhluk aneh. Atau elo makhluk anehnya?” kata temannya yang lain. Disambut tawa teman-temannya
“Waktu itu gue ditolongin sama tetangga..” suaraku memudar, tapi aku bisa merasakan tatapanku membakar mereka. Semua orang tahu aku tidak senang membicarakan ini. Tapi aku tidak bisa pergi duluan dan dianggap pengecut.
“Anak macem elo aja ada yang mau nolongin. Apalagi kalo gue.”
“Iya, kalo rumah gue yang kebakar, pasti yang mau nolongin gue banyak deh.”
“Kalian yakin?” jawabku kesal. Ini sudah menjauh dari topik awal. Aku ingin segera pergi.
“Hah, ya iyalah. Coba aja kalo suatu saat rumah atau asrama kita deh, kebakaran, pasti kita bakal ditolongin.” Teman-temannya mengangguk-angguk mendukungnya.
Aku hanya bisa tersenyum masam pada mereka dan melanjutkan jalan menuju asrama.
Menunggu peristiwa itu datang.
Bagaimana jika peristiwa itu tak kunjung datang?
Mungkin aku harus mengambil inisiatif. Banyak yang bilang anak yang pintar itu harus memiliki inisiatif sendiri, tidak boleh bergantung pada orang lain. Aku ini anak pintar kan? Aku mengetahui maksud tersembunyi dari perkataan mereka itu. Pasti mereka memang menyuruhku berbuat sesuatu untuk membuktikan kebenaran ucapan mereka.
Katanya lagi, orang yang rajin tidak akan menunda-nunda pekerjaan. Biasanya aku ini anak yang rajin.
Sebagai anak yang pintar dan rajin, akupun mengambil inisiatif sendiri dan tidak membuang-buang waktu yang ada.
Sebenernya gue bikin ini buat tugas cerpen Bahasa Indonesia. Hehe tapi sekarang gue malah gak yakin mau ngumpulin ini.