Another Man’s War: the story of a Burma boy in Britain’s forgotten African Army adalah buku nonfiksi sejarah yang menceritakan kehidupan seorang pemuda Afrika yang menjadi bagian dari tentara Kerajaan Inggris untuk kemudian ditempatkan di Perang Burma (sekarang Myanmar) pada Perang Dunia II. Waktu beli buku ini aku mikir hmm menarik sekali, aku nggak tahu kalau ternyata Inggris menarik pasukan dari mana-mana. Buku ini, yang ditulis oleh Barnaby Philips, seorang wartawan, memang menarik banget isinya. Dia bukan semacam biografi yang menceritakan cerita hidup satu orang begitu saja, tapi ada juga latar belakang dari apa yang terjadi seperti kenapa pasukan ini dikirim ke lokasi A, kenapa dikirim ke lokasi B, penulisnya bahkan berhasil menemukan semua nama-nama penting yang berperan dalam cerita ini. Aku kagum sekali karena aku tidak terpikir bagaimana caranya coba.
Btw post ini bakalan panjang banget makanya akan aku kasih semacam daftar isi wkwk.
- Cerita kehidupan Isaac (basically ringkasan cerita)
- Logistik peperangan
- Suku-suku di Arakan dan keberpihakan mereka dalam perang
- Arakan sekarang
- Masalah negara berkembang sebenarnya sama saja
- Simpulan terakhir (akhirnya review buku)
Cerita Kehidupan Isaac
Isaac Fadoyebo adalah seorang pemuda asal Desa Emure-Ile di pedalaman Nigeria. Setelah lulus dari sekolah, ia ingin melanjutkan sekolah tinggi namun ayahnya tidak mengizinkan. Isaac mencari segala cara untuk keluar dari kehidupan desa sehingga ia memutuskan untuk bergabung dengan tentara Kerajaan Inggris ketika tim propaganda militer sedang berkunjung ke kotanya.
Ia langsung disumpah menjadi anggota tentara dan mengikuti pelatihan selama berbulan-bulan. Isaac pernah bersekolah dan dapat membaca dan menulis sehingga ia cukup spesial dibandingkan banyak anggota baru lainnya. Ini membuat Isaac ditempatkan di 29th Casualty Clearing Station (CCS) yaitu korps medik militer yang menempel pada 81st Division yang berisi puluhan ribu tentara asal Afrika Barat.
Isaac dan sebagian dari Divisi 81 berangkat dari pelabuhan Lagos pada tahun 1943 tanpa diberitahu tujuan akhir mereka. Mereka sampai di Bombay (sekarang Mumbai), India dan menunggu di sana selama empat bulan hingga seluruh Divisi 81 terkumpul. Pada saat itu kebanyakan dari mereka masih belum tahu mereka akan disuruh berperang di mana karena kebanyakan dari pasukan Afrika tersebut lebih familier dengan perang melawan Hitler di Eropa.
Setelah seluruh Divisi 81 terkumpul, mereka semua melanjutkan perjalanan menuju Burma (sekarang Myanmar). kali ini mereka sudah mengetahui bahwa tujuan akhir mereka adalah Burma untuk melawan tentara Jepang. Para petinggi perang Kerajaan Inggris sengaja menempatkan pasukan Afrika di Burma karena mereka berpendapat orang-orang Afrika tersebut pasti sudah memahami hutan tropis sebagaimana medan perang di Burma, padahal sebenarnya kebanyakan anggota pasukan Afrika berasal dari padang rumput.
Mereka pergi ke Burma dengan kereta dan kapal melintasi Teluk Bengal hingga perbatasan Burma. Lalu mereka melanjutkan dengan berjalan kaki melintasi hutan belantara. Di sini para prajurit mengalami berbagai pengalaman baru bagi mereka, seperti hewan-hewan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, suara tembakan antara Jepang dan Inggris dari jauh, dan melewati hutan rimba yang sangat lebat hingga tidak terdapat sinar matahari di dalamnya.

Mereka mengakhiri perjalanan mereka di Kota Paletwa yang terletak di dekat Sungai Kaladan di daerah Arakan (sekarang Rakhine). Selama perjalanan mereka mengamati ada dua jenis desa yang mereka lewati, yaitu desa Muslim dan desa Buddhis. Mereka juga menyadari bahwa penduduk Muslim memberikan mereka respon yang sangat hangat dibandingkan penduduk Buddhis sehingga tentara Kerajaan Inggris lebih nyaman ketika berhenti di dekat desa Muslim. Karena berbagai alasan dan sejarah di masa lalu, warga Muslim Arakan memang bersekutu dengan Kerajaan Inggris dan warga Buddhis Arakan bersekutu dengan Jepang.
Pada Bulan Maret, beberapa anggota CCS 29, termasuk Isaac, diperintahkan untuk pindah ke kota lain di arah selatan untuk membawa berbagai peralatan medis besar dengan menggunakan perahu dayung. Sebagian besar anggota CCS 29 tidak bersenjata karena fungsi mereka hanya untuk merawat tentara lain yang terluka di medan perang. Ditambah lagi dengan membawa peralatan medis sambil menyusuri sungai, mereka hampir tidak bisa membela diri sama sekali.
Beberapa hari setelah memulai perjalanan menyusuri sungai, CCS 29 sedang makan bersama di pinggir sungai. Tiba-tiba datanglah sekelompok tentara Jepang yang menembaki mereka. Isaac sadar bahwa ia menerima dua kali tembakan, satu di kaki dan satu di pinggangnya. Beberapa temannya sudah mengerang kesakitan dan ada atasannya yang dibawa pergi oleh tentara Jepang. Para penyerang mereka melihat Isaac dan meminta Isaac bangun untuk dibawa pergi tapi cedera Isaac sangat parah sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan Isaac mati di pinggir sungai.
Beberapa jam setelah tentara Jepang pergi, Isaac kedatangan dua orang warga desa di tempat penyerangan tersebut. Mereka sebenarnya datang untuk mengambil jasad anak desa yang tidak sengaja terkena peluru tapi Isaac berhasil membujuk mereka (dengan memberi seluruh uang yang ia miliki) untuk memindahkannya. Isaac pun dipindahkan ke tempat yang lebih tersembunyi dari sungai, tapi ia masih berada di udara terbuka. Ia kepanasan dan kehujanan selama berhari-hari tapi beberapa hari kemudian warga desa datang membawa David Kargbo, kolega Isaac dari CCS 29 yang juga selamat. Mereka senang karena akhirnya bertemu orang yang mereka kenal dan mereka berdua berharap tentara Inggris akan segera datang untuk menyelamatkan mereka.
Selama beberapa bulan Isaac dan David bertahan hidup dengan menerima bantuan makanan dari warga yang mengasihani mereka. Ketika makanan semakin jarang datang, David terpaksa pergi ke jalanan terdekat untuk mengemis pada warga yang lewat. Lalu suatu hari mereka kedatangan seorang warga yang memperkenalkan diri mereka sebagai Shuyiman. Ia dan beberapa temannya membangun gubuk sederhana untuk melindungi Isaac dan David dari musim hujan yang akan segera mulai. Shuyiman juga datang memberi mereka makanan dan berusaha berbincang-bincang hampir setiap hari. Hal ini berlangsung cukup lama hingga patroli tentara Jepang datang ke dekat gubuk Isaac dan David.
Suatu hari Shuyiman meminta Isaac dan David untuk pindah ke rumahnya karena menurutnya di sana akan lebih aman. Isaac dan David menuruti permintaan itu meskipun mereka sedikit pesimis karena mereka sadar Shuyiman mengambil risiko besar dengan menyembunyikan mereka. Isaac dan David kemudian bersembunyi di kamar kosong di rumah Shuyiman di Desa Mairong. Mereka berkenalan dengan istri dan anak Shuyiman yang setiap hari memberi mereka makanan.
Isaac dan David bersembunyi di rumah Shuyiman selama beberapa bulan. Mereka semakin menganggap Shuyiman dan keluarganya lebih dari teman, tapi sebagai penyelamat mereka. Mereka juga bingung mengapa Shuyiman bersedia mengambil risiko besar dengan menyembunyikan mereka. Tentu Shuyiman memiliki motifnya sendiri. Salah satunya ia mengharapkan balasan dari tentara Inggris apabila mereka menemukan dua tentara mereka di rumahnya. Yang kedua adalah ia percaya bahwa masa depan keluarganya, desanya, dan Muslim Arakan bergantung pada kemenangan Inggris maka ia merasa membantu tentara Inggris adalah pekerjaan terhormat.
Pada Bulan Desember, Isaac dan David disuruh keluar rumah oleh keluarga Shuyiman. Mereka berdua mendapat sambutan meriah dari warga desa lain karena akhirnya ada anggota pasukan Inggris yang datang patroli ke desa mereka dan bisa membawa Isaac dan David pulang. Mereka berdua juga sangat bersyukur. Saat itu seluruh desa merayakan pertemuan ini. Isaac dan David akhirnya kembali bergabung dengan tentara Inggris setelah terlantar selama tujuh bulan.
Tanpa membuang waktu, Isaac dan David segera dibawa kembali ke kamp tentara Inggris terdekat. Shuyiman ikut menemani mereka bersama dengan dua orang warga desa yang menandu Isaac. Di kamp, Isaac dan David langsung ditempatkan di rumah sakit sementara Shuyiman dipanggil oleh jenderal untuk ditanya-tanya. Isaac mengingat hari itu dan menyayangkan karena ia tidak bisa bertemu Shuyiman lagi untuk berterima kasih.
Keesokan harinya Isaac dan David langsung dibawa keluar Burma. Mereka berjalan kaki menuju India dengan Isaac yang masih ditandu. Setelah menghabiskan satu malam terakhir di Burma, mereka sampai di India. Isaac dan David berada di India selama empat bulan, selalu berpindah-pindah rumah sakit dan bergerak ke arah Barat. Di India, Isaac dioperasi kakinya. Ternyata cederanya sangat parah hingga dokter memutuskan untuk mengangkat tempurung kaki Isaac yang rusak. Ia akan pincang seumur hidupnya.
Pada bulan Maret 1945, Isaac dan David sudah berada di pelabuhan Bombay bersama prajurit Afrika Barat lainnya yang terluka. Ada yang kehilangan anggota tubuh, ada yang buta, ada juga yang memiliki gangguan mental. Perjalanan pulang ini jauh lebih cepat daripada keberangkatan mereka karena mereka melewati Kanal Suez. David berasal dari Sierra Leone dan ia harus turun dari kapal terlebih dahulu. Isaac sendiri sampai di Nigeria bulan April 1945.
Kepulangan Isaac di Desa Emure-Ile diingat warga sebagai salah satu kejadian bersejarah di desa itu. Seluruh warga desa menyambut Isaac dengan bahagia kecuali ayahnya yang merasa kesal karena Isaac yang masih muda harus memiliki cacat kaki. Ia takut Isaac tidak akan bisa sukses dalam hidupnya dengan kakinya yang pincang. Tapi Isaac berjanji pada ayahnya bahwa ia akan terus berusaha hingga sukses.
Isaac kemudian memanfaatkan jatah pekerjaan untuk veteran perang yang diberikan oleh pemerintahan Inggris. Ia mendapat pekerjaan di Kementerian Ketenagakerjaan dan bekerja di sana hingga pensiun di usia 50an. Isaac memiliki enam orang anak dan satu istri. Ia meninggal dunia pada tahun 2012.
Ulasan
Logistik peperangan
Buku ini membuat aku sadar pentingnya dan adanya kelompok pembantu dalam perang. Selain dari prajurit bersenjata biasa dan korps medik seperti CCS 29, ternyata ada juga yang disebut auxiliary group atau kelompok pembantu yang terdiri dari ribuan orang. Mereka adalah porter atau kuli yang bertugas membawa barang-barang milik tentara, terutama yang berpangkat tinggi. Kelompok pembantu ini secara teori seharusnya tidak bersenjata dan hanya bertugas sebagai kuli saja. Tapi pada kenyataannya banyak di antara mereka yang juga diberi senjata supaya dapat ikut dalam pertempuran. Karena pasti kalau mereka tidak bersenjata malah akan merepotkan tentara, kan?
Kalau dipikir-pikir memang pasti ada nggak, sih? Tapi ya nggak pernah kepikiran saja. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam peperangan, bekerja keras dan ikut berjalan kaki sebanyak semua tentara yang mereka bantu tapi jarang disebut dalam buku-buku sejarah. Di sini disebutkan kalau ada kuli, ada pemandu, ada yang suka membatu bawa tandu, sepertinya ada yang ikut dari awal sampai akhir dan ada juga yang hanya ikut dekat tempat tinggal mereka saja lalu nanti akan digantikan orang lain saat rombongan tentara sampai ke desa lain.
Terus soal surat menyurat, ini juga sebenarnya suka aku pikirkan kalau membaca buku yang berlatar masa peperangan. Bagaimana bisa surat sampai ke seseorang di tengah medan perang? Bagaimana caranya para prajurit menulis surat balik kalau mereka sedang berperang? Siapa tukang posnya? Bagaimana mereka menemukan tujuan penerima surat? Di buku ini aku melihat bahwa ternyata sama caranya dengan pembagian ransum. Jadi selain menjatuhkan ransum yang berisi makanan dan senjata, pesawat juga bisa menjatuhkan surat, kadang dijatuhkan bersamaan. Ini menjawab banyak pertanyaanku soal surat-menyurat selama perang. Tapi tetap, sih, hebat juga kan berarti ada orang yang pekerjaannya menyortir surat untuk disampaikan ke medan perang dan ada sistemnya yang berisi nama setiap orang ada di mana.
Tapi meskipun surat bisa sampai, pasti butuh waktu sangat lama, kan, ya? Apalagi kalau antar benua. Sekarang saja mengirim surat internasional bisa berminggu-minggu apalagi zaman PD II. Aku jadi sadar juga sekarang kenapa menulis tanggal itu penting dalam sebuah surat. Karena kita tidak tahu kapan suratnya akan diterima dan tanggal itu penting untuk konteks isi surat. Misalnya ada berita anggota keluarga sakit atau pergi ke suatu tempat, penerima akan tahu kapan surat itu ditulis. Sekarang kalau menulis email dan chat sudah nggak perlu lagi menulis tanggal karena tertera dengan jelas kapan surat itu ditulis.
Aku juga penasaran soal bagaimana berita duka bisa sampai ke keluarga tentara. Kalau di zaman modern aku bisa membayangkan bagaimana beritanya bisa menyebar dari kantor perang lalu ada yang datang atau menelepon keluarga tentara tersebut. Tapi di zaman dulu, memangnya mereka punya biodata lengkap berisi alamat setiap tentara? Sepertinya punya ternyata, karena di cerita Isaac, pada bulan Juni, ada surat ditujukan pada ayahnya yang diantarkan ke desa Emure-Ile. Surat itu berisi berita bahwa status Isaac Missing in Action. Kan ini berarti mereka punya database alamat keluarga setiap orang dan meskipun bisa dibilang Isaac ini hanya prajurit rendahan, keluarganya tetap mendapat surat resmi dengan tanda Kerajaan Inggris. Isaac hilang bulan Maret, anggaplah beritanya baru masuk ke kantor perang di Burma mungkin bulan April. Bulan Juni beritanya sudah masuk pedalaman Afrika! Ajaib.
Suku-suku dan keberpihakan mereka selama perang
Soal konflik di Arakan/Rakhine, sesuai informasi dari buku ini sepertinya mulai memanas gara-gara pengaruh penjajah. Jadi waktu Jepang datang dan ingin mengambil Burma dari Inggris mereka menggunakan slogan-slogan semacam “Asia untuk Asia”, nggak beda lah sama yang dipakai di Indonesia. Jepang meyakinkan suku terbesar, yaitu suku Bamar, bahwa mereka akan memberikan kemerdekaan apabila mereka membantu Jepang mengusir Inggris. Jepang juga pernah membawa sekelompok nasionalis ke Jepang untuk pelatihan (mirip kan dengan sejarah di sini?) dan memberikan mereka pelatihan, termasuk di antaranya Aung San. Ketika mereka kembali ke Burma, orang-orang ini membentuk tentara mereka sendiri yaitu Burma Independence Army sehingga ketika Jepang memasuki Burma pada tahun 1942, mereka didampingi oleh Burma Independence Army. Mereka disambut baik oleh warga yang ingin mereka mengusir Inggris.
Ternyata ketika Inggris menguasai Burma sebelum Jepang datang, mereka memberi banyak otonomi kepada suku-suku minoritas yang tinggal di pedalaman atau daerah terluar seperti Chin, Karen, Kachin, dan lain-lain, kemungkinan pada Muslim Arakan juga. Banyak di antara warga suku minoritas tersebut yang menganut agama Kristen karena misionaris Inggris. Otonomi tersebut membuat mereka memiliki kepentingan pribadi/vested interest dalam kemenangan Inggris. Suku-suku minoritas tersebut mostly dicuekin sama Inggris sementara suku terbesar, Bamar, paling punya sentimen negatif pada Inggris karena merekalah yang digulingkan oleh Inggris. Selain itu Jepang yang berusaha memenangkan hati suku Bamar membuat mereka semakin ingin mengusir Inggris.
Meskipun Bamar adalah mayoritas secara jumlah, pada masa pendudukan Inggris ekonomi di Yangon dikuasai oleh orang-orang etnis India. Warga lokal banyak yang punya pinjaman pada pengusaha-pengusaha India ini. Orang-orang India ini datang karena pemerintahan Inggris yang menempatkan Burma pada sistem administrasi India, mereka juga memahami Bahasa Inggris dan sistem pemerintahan Inggris sehingga lebih mudah sukses. Tapi ketika krisis ekonomi terjadi, banyak lahan yang diambil alih oleh orang-orang India sehingga muncullah rasa kemarahan di orang-orang Bamar.
Sejak 1930an sudah ada kerusuhan anti-India dan anti-Muslim di sana dan ketika Inggris mundur dari Burma kerusuhan semakin parah. Penduduk Muslim Arakan berpenampilan seperti orang India (makanya tentara Afrika menyebut mereka Indian) dan lebih dekat hubungan ekonominya dengan India daripada Yangon sehingga geng-geng Buddhis Arakan menyerang desa-desa Muslim. Kemudian warga Muslim membalas, kemudian dibalas lagi, kemudian dibalas lagi. Begitulah kira-kira. Tahun 1942 tentara Inggris datang lagi dan mereka menahan konflik etnik yang sedang terjadi.
Arakan sekarang
Waktu awal mengambil buku ini, aku tidak terpikirkan bahwa ada masalah yang diceritakan di buku yang masih relevan hingga sekarang. Awalnya aku tidak tahu di sebelah mana lokasi perang Inggris-Jepang di buku ini. Lokasi Isaac dan Divisi 81 berperang adalah di sekitar Arakan, yaitu daerah di barat Myanmar berbatasan dengan India. Daerah ini mungkin sekarang lebih dikenal sebagai Rakhine.
Konflik lokal yang dideskripsikan di buku ini membuatku berpikir. Mereka sudah berantem sejak tahun 1930-an. Ini bukan hal yang baru. Salah satu yang menjadi masalah seingatku adalah siapa yang duluan ada di sini dan suku mayoritas mengaku bahwa Muslim Rakhine bukan warga negara Myanmar. Mereka memang berpenampilan berbeda dan mungkin secara nenek moyang lebih dekat dengan orang-orang Bengal. Membaca ini membuatku tenggelam dalam rabbit hole Wikipedia, hahaha. Aku jadi penasaran juga nama Bengal itu asalnya dari mana dan ternyata memang pernah ada Kerajaan Bengal zaman dahulu kala. Mungkin sekitar zaman Sriwijaya kalau di sini. Di masa kejayaannya, Kerajaan Bengal mencakup wilayah Arakan juga jadi mungkin itulah kenapa di situ ada orang-orang yang berpenampilan seperti orang-orang India.

Konflik di Rakhine ini masih berjalan hingga sekarang. Ternyata orang-orang Muslim di sana memang dijanjikan negara Muslim oleh Inggris apabila Inggris menang sehingga mereka makin bersekutu dengan Inggris. Aku kurang paham ini terus jadinya bagaimana, mengingat Myanmar merdekanya dari Inggris kan? Tapi ya pada kemerdekaan Myanmar dengan pemerintah yang mayoritas orang-orang Bamar, mereka melakukan diskriminasi sistematis pada orang-orang Muslim Rakhine bahkan sampai disamakan dengan apartheid oleh berbagai ahli.
Penulis buku Another Man’s War, Barnaby Phillips, juga mengalami kesulitan ketika ia berusaha melacak keluarga Shuyiman di tahun 2011. Jurnalis tidak bisa masuk ke daerah tersebut dan ia harus menggunakan visa turis, memiliki pemandu wisata lokal, dan ke mana-mana ditemani pemandu wisatanya. Untungnya pemandu wisata Barnaby bersedia membantunya mencari keluarga Shuyiman tapi pada akhirnya mereka tetap tidak bisa bertemu dengan gegabah karena daerah itu dijaga ketat oleh polisi atau militer. Mereka hanya bisa bertemu di sebuah kuil yang memang merupakan objek wisata terkenal. Saat ini ratusan ribu orang Rohingya terdesak keluar dari negara mereka untuk melarikan diri dari kekerasan negara. Kalau tidak melarikan diri juga, mereka akan sulit hidup bermasyarakat di luar komunitas mereka karena banyak di antara mereka yang tidak diakui sebagai warga negara sehingga mereka berstatus stateless sekarang. Banyak di antara mereka yang mengungsi ke negara tetangga seperti Bangladesh.
Masalah negara berkembang sama saja
Menurutku masalah ini nggak jauh beda dengan masalah di negara-negara terjajah lainnya. Keputusan yang diambil oleh penjajah ratusan tahun lalu seperti diskriminasi yang dilakukan oleh penjajah terhadap kelompok etnis yang berbeda dan penarikan batas wilayah yang tidak mempertimbangkan warga lokal pada akhirnya menjadi masalah besar bagi warga lokal bahkan setelah penjajah pergi dari daerah tersebut.
Di sini yang jelas adalah di Arakan, karena pada saat pendudukan Inggris suku Bamar merasa mereka paling tertindas, mereka juga merasa orang-orang India dan orang-orang Bengal adalah kepanjangan tangan Inggris, akhirnya mereka punya dendam dan hal ini yang berlanjut bergenerasi-generasi ke depan. Selain itu, kenapa Arakan masuk ke wilayah administrasi Burma padahal banyak penduduknya yang berpenampilan berbeda? Ya karena Inggris menarik batas wilayah mereka berdasarkan kepentingan Inggris sendiri, bagaimana caranya supaya daerah kekuasaan mereka bisa paling mudah dilindungi dari penjajah lain. Makanya di banyak negara terjajah ada saja garis batas wilayah negara yang tidak sesuai dengan wilayah kekuasaan suku-suku yang tinggal di situ, ini juga bisa menghasilkan konfliknya sendiri. Tapi ini topik yang rumit juga dan masalah Arakan penyebabnya memang kompleks dan I’m not a strategic scientist ok.
Tidak hanya di Arakan, salah satu sejarah terkenal yaitu genosida di Rwanda. Genosida di Rwanda terjadi pada tahun 1994 ketika suku Tutsi dibunuh massal oleh suku Hutu. Masalahnya sesungguhnya sangat kompleks dan aku nggak ingin terlihat seolah-olah aku paham segalanya. Tapi salah satu penyebab utamanya adalah diskriminasi semasa penjajahan. Jadi pada awalnya memang ada tiga suku besar di Rwanda sebelum datangnya para penjajah Eropa, yaitu Twa, Hutu, dan Tutsi. Saat itu penggunaan kata Hutu dan Tutsi tidak benar-benar digunakan untuk merujuk ke suku seseorang, tapi lebih ke individu. Selain itu, pembagian kelompoknya tidak saklek. Jadi lebih seperti perbedaan kelas daripada perbedaan suku dan pemahamannya dulu adalah orang-orang Tutsi menggembala ternak dan orang-orang Hutu bercocok tanam. Karena ini lebih seperti perbedaan status kelas, seseorang bisa pindah dari Hutu ke Tutsi maupun sebaliknya. Kedua kelompok ini juga memiliki bahasa dan budaya yang sama.
Pada masa penjajahan Jerman dan Belgia, para penjajah memerintah daerah itu dengan menggunakan monarki yang sudah ada. Para penjajah lebih memilih memberikan fungsi administrasi kepada orang-orang Tutsi dibandingkan Hutu karena mereka percaya bahwa Tutsi adalah migran dari Ethiopia sehingga merupakan ras yang lebih unggul. Lalu pada masa penjajahan Belgia, entah karena alasan apa mereka memutuskan untuk membuat pemisahan yang saklek antara kelompok Hutu dan Tutsi. Tahun 1935, pemerintahan Belgia membagi orang-orang Rwanda menjadi tiga kelompok etnis permanen, yaitu Twa sebanyak 1%, Tutsi sebanyak 15%, dan Hutu sebanyak 84%. Para penduduk kemudian mendapat kartu identitas bertuliskan kelompok etnis mereka. Ketika sebelumnya orang Hutu kaya bisa menjadi Tutsi, sekarang itu tidak lagi bisa terjadi.
Semakin lama, posisi administratif semakin dikuasai oleh Tutsi, begitu juga dengan ekonomi sehingga tumbuh rasa kekesalan di orang-orang Hutu. Setelah PD II ada gerakan emansipasi di Rwanda dan orang-orang Hutu ingin menyingkirkan orang-orang Tutsi. Belgia dan para misionaris juga mendorong Hutu karena mereka mulai terganggu dengan kekuasaan Tutsi. Lalu seseorang dari kelompok Hutu diserang oleh Tutsi, kabar kematiannya (padahal sebenarnya ia tidak mati) menyebar, lalu orang-orang Hutu membalas serangan ini dengan membunuh semua orang Tutsi yang bisa mereka bunuh, bahkan tetangga mereka sendiri. Sebenarnya lengkapnya panjang dan kompleks, ada pembunuhan presiden juga, ada perintah membunuh Tutsi dari pemimpin kelompok, dan lain-lain.
Tentu tidak bisa disamakan sih dengan keadaan di Myanmar tapi menurutku akar masalahnya cukup mirip. Kita tidak mau juga kan akan berakhir seperti di Rwanda. Aku jadi kepikiran saja sih waktu membaca oh ternyata ini sudah lama akarnya dan gara-gara penjajah juga ujung-ujungnya.
Soal cara orang-orang Eropa menguasai daerah lain, memang di mana-mana sama. Salah satu prajurit Afrika saat melintasi India menyadari persamaan antara India dengan Nigeria, seperti banyaknya suku dan bahasa yang berbeda dan rasa ketidakpercayaan antara kelompok. Ia juga menyadari bahwa seperti di Nigeria, di utara terdapat orang-orang yang tinggi dan berkulit terang dan semakin ke selatan ia melihat orang-orang yang lebih pendek dan berkulit lebih gelap. Menurutnya, Kerajaan Inggris menguasai India dan Nigeria dengan taktik yang sama, yaitu
The process was begun by trading companies, interested in profit, and only later did Imperial administrators and soldiers arrive. They created vast new countries where none had existed. Nigerians and Indians might resist the British, he said, but thus far internal divisions had undermined their struggles.
Ini mengingatkanku pada masuknya VOC ke Nusantara yang merupakan perusahaan dagang dan dimotivasi oleh keuntungan moneter. Setelah VOC lama menguasai Nusantara barulah pemerintah Belanda ikut memerintah. WKWK aku lupa ya gimana tapi emang ada perpindahan kekuasaan, kan? Aku juga lupa alasannya karena apa tapi lama kelamaan datanglah imperial administrators dan tentara dan mereka membentuk negara baru yang besar di tempat yang sebelumnya tidak ada negara sebesar itu. Makanya Sumpah Pemuda penting ya karena sebelum itu belum ada identitas Nusantara.
Salah satu masalah lain yang menurutku mirip-mirip dengan di sini atau negara berkembang lain adalah kualitas pelayanan publik. Setelah Nigeria merdeka dan tanggung jawab pembayaran uang pensiun Isaac dipindahkan ke Kementerian Pertahanan Nigera dari Tentara Kerajaan Inggris, uang yang didapat Isaac semakin jarang datang. Anak-anak Isaac menyebut ini “the Nigerian factor”. Isaac juga sering mengenang masa lalunya pada tahun 1950an di Lagos, ketika ia biasa tidur di trotoar saat udara panas. Menurutnya saat ini tingkat kriminalitas meningkat, kalau ada yang berani seperti itu ia bisa dibunuh atau dijarah rumahnya. Ia juga menyayangkan pengadaan listrik yang semakin lama semakin jelek. Dahulu sebelum pemadaman listrik warga akan mendapat pemberitahuan tapi sekarang tidak lagi, listrik adalah sesuatu yang tidak menentu sekarang. Nigeria dipimpin militer dari 1966 hingga 1999 dan Isaac mengamati standar kehidupan yang kian menurun.
Isaac merasa masalah yang menahan negerinya adalah korupsi dan mereka butuh sebuah revolusi supaya bisa maju. Ia, seperti banyak warga negara lainnya, percaya bahwa Nigeria memiliki potensi untuk menjadi lebih baik.
Simpulan Akhir
Bagian akhir ini baru aku tulis setelah aku proofread semua yang di atas dan aku sadar aku ngelantur banget. Sudah biasa. Tapi sekarang aku bakal ngomongin soal bukunya itu sendiri. Bukunya bagus, ceritanya detail, sangat menarik, membuatku penasaran dan tenggelam dalam link-link Wikipedia. Penulisnya bisa mendeskripsikan kondisi hutan, kota, dan desa-desa yang mereka lewati dengan sangat baik, bikin aku merasa seolah-olah aku ada di sana juga. Dia juga menceritakan sense of wonder yang dialami prajurit-prajurit Afrika ketika mereka melihat hutan hujan tropis, hewan-hewan di hutan, dan hujan yang sangat deras untuk pertama kalinya.
Biasanya aku kurang suka membaca buku biografi karena menurutku membosankan. Apalagi kalau soal orang terkenal atau politisi atau penemu karena aku rasa aku akan bosan dan merasa inferior (tapi aku penasaran sama bukunya Michelle Obama sih). Tapi buku ini tetap menarik buatku karena yang diceritakan adalah orang biasa, dalam peperangan dia bukan komandan perang, dia bahkan tidak membawa senjata. Aku jadi semakin tahu soal kehidupan orang-orang di tempat yang jauh dari aku dan dalam kondisi yang sangat berbeda denganku. Buat kalian yang suka membaca cerita sejarah dan perang dan sebagainya harus banget baca buku ini. Buku ini bagus juga dibaca oleh yang penasaran sama kehidupan orang yang latar belakangnya sangat berbeda. Karena aku memang penasaran saja sama segalanya.
Review-nya bagus kak
LikeLiked by 1 person
Terima kasih ulasannya, Anindya! Menarik sekali. Belakangan aku memang tertarik dengan buku nonfiksi bertema sejarah. Baca-baca tentang efek kolonialisme ini suram banget ya. Aku sepertinya baru bakal baca buku inikalau mood mendukung.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih juga sudah membaca, Farah 😊 Memang sih jadi sadar kalau efek kolonialisme itu suram dan berkepanjangan, tapi sebenarnya buku ini tonenya nggak sesuram itu karena banyak yang diceritakan dari sudut pandang pribadi Isaac dan dia orangnya bersyukur aja sama apa yang dia alami. Aku sendiri juga menghindari buku yang terlalu suram karena bisa bikin sedih berkepanjangan, apalagi kalau masalah hidupnya mirip dengan masalah hidup aku, jadi makin kepikiran hahaha.
LikeLiked by 1 person