Apabila teman-teman sadar bahwa bulan kemarin aku baca buku tiba-tiba banyak banget, aku sendiri juga kaget. Biasanya dalam sebulan aku cuma baca buku 2 – 4, tiba-tiba kemarin ada 11! Ini tentu ada sebabnya, yaitu karena salah satu buku yang aku baca adalah Digital Minimalism karya Cal Newport. Cal Newport ini mungkin lebih terkenal karena salah satu bukunya yang lain, yaitu Atomic Habits tapi yang lagi diskon Digital Minimalism jadi ini aja yang aku beli haha.

Digital Minimalism:
Choosing a Focused Life in a Noisy World
Judul lengkap dari buku ini adalah Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. Cal Newport, penulisnya, adalah seorang profesor ilmu komputer. Ia berpendapat bahwa banyak di antara kita yang memiliki kecanduan pada teknologi. Kecanduan didefinisikan sebagai
kondisi ketika seseorang menggunakan zat-zat atau melakukan perbuatan yang memberikan efek menguntungkan sehingga menjadi insentif untuk melakukan perbuatan tersebut berulang-ulang meskipun ada konsekuensi buruk.
Sebelumnya perilaku kecanduan/adiksi/addiction hanya dilihat sebagai kecanduan pada zat-zat adiktif dan baru pada tahun 2010 ditemukan bahwa behavioral addiction menyerupai substance addiction seperti misalnya kecanduan berjudi dan kecanduan internet.
Sebagai pengguna internet biasa (bukan pencipta layanan), kita adalah yang menjadi target dari program pemasaran perusahaan-perusahaan teknologi. Makanya yaa kita sudah kalah duluan sih karena kita hanya menerima saja apa yang diberikan oleh perusahaan teknologi. Mereka sudah melakukan penelitian bagaimana untuk menarik perhatian kita sebisa mungkin supaya kita bertahan lama membuka aplikasi tersebut.
Hal tersebut yang menjadi alasan kenapa kita harus melakukan digital minimalism dengan sengaja. Cal Newport mendefinisikan minimalisme digital sebagai
Filosofi penggunaan teknologi yang mengharuskan kita memfokuskan waktu online kita pada sejumlah kecil aktivitas yang sudah dipilih dengan hati-hati yang mendukung nilai-nilai yang kita anut, dan bersedia melewatkan segala yang lainnya.
Jadi minimalisme digital tidak menyuruh kita meninggalkan semua aktivitas digital kita, tapi memilih aktivitas digital yang benar-benar memberi nilai positif sesuai sudut pandang kita masing-masing. Ketika kita menerapkan minimalisme digital, kita juga nggak akan merasakan FOMO (fear of missing out) karena kita benar-benar menyadari aktivitas apa saja yang perlu dan tidak perlu.
Bab ketiga buku ini langsung memberikan kita langkah-langkah jelas yang bisa diterapkan untuk menjadi minimalis digital. Cal menyarankan kita melakukan digital declutter karena ini akan memaksa kita untuk menyesuaikan kebiasaan kita yang biasanya bergantung pada teknologi. Mengubah kebiasaan perlahan-lahan akan sangat sulit karena kita adalah target dari pemasaran teknologi.
Proses digital declutter terdiri dari tiga tahap:
- Definisikan aturan teknologi kita. Kita harus berhenti dari teknologi opsional selama 30 hari. Teknologi apa saja yang perlu ditinjau tergantung dari kebiasaan kita masing-masing. Kita juga kemudian perlu menentukan teknologi apa saja yang bisa disebut “opsional”. Sebuah teknologi bisa dibilang opsional jika bisa kita tinggal selama 30 hari tanpa memberikan dampak buruk bagi hidup kita. Jadi yaa jangan meninggalkan grup WA kerjaan atau grup keluarga. Kita juga bisa memberikan diri kita aturan spesifik, misalnya hanya mengecek media sosial kalau di laptop dan hanya di jam-jam tertentu.
- Istirahat dari teknologi selama 30 hari. Selama 30 hari ini, cari dan temukan aktivitas dan perbuatan yang kita anggap memuaskan dan berarti. Bisa digunakan untuk menemukan ulang hobi-hobi lama yang terlupakan atau ya merenung aja berdiam diri dengan pikiran hahaha.
- Perkenalkan ulang teknologi. Tujuan dari tahap ini adalah mulai dari titik nol dan hanya memasukkan kembali teknologi yang lulus standar minimalis kita. Untuk setiap teknologi yang kita masukkan kembali, kita harus bertanya, apakah teknologi ini mendukung nilai-nilai yang kita anut? Lalu apakah teknologi ini adalah cara terbaik untuk mendukung nilai hidup kita? Dan terakhir, bagaimana caraku menggunakan teknologi ini untuk memaksimalkan nilai baiknya dan meminimalkan kerugiannya?
Dalam Bagian 2, buku ini berisi saran-saran praktis yang bisa kita lakukan untuk mengurangi ketergantungan kita pada ponsel dan juga mengisi waktu luang. Menurutku semua sarannya bagus, jadi akan aku tuliskan di sini
Spend time alone (habiskan waktu sendirian)
- Tinggalkan hape di rumah
- Jalan-jalan santai
- Tulis surat untuk diri sendiri
Manfaatkan waktu luang

- Prioritize demanding activity over passive consumption. Lakukan aktivitas yang menyita waktu dan tenaga daripada hanya mengonsumsi hiburan secara pasif.
- Use skills to produce valuable things in the physical world. Gunakan keterampilan untuk menciptakan sesuatu yang bernilai secara fisik.
- Seek activities that require real-world, structured social interactions: Cari aktivitas yang membutuhkan interaksi sosial di dunia nyata (sayangnya ini nggak mungkin di masa pandemi).
- Fix or build something every week: Membuat atau membetulkan sesuatu tiap minggu.
- Schedule your low-quality leisure: jadwalkan waktu spesifik untuk kita mainan internet, mengecek media sosial, dan streaming hiburan.
- Join something: bergabung dengan suatu kelompok yang bisa meningkatkan aktivitas sosial kita dan menjadi hobi baru.
- Follow leisure plans: bikin tujuan untuk mengisi waktu luang dan jadwal untuk mengisinya, misalnya ingin mahir main piano, lalu jadwalkan misal satu jam tiap dua hari untuk main. Atau ingin olahraga 5 hari seminggu, maka harus kosongkan waktu untuk olahraga.
Join the Attention Resistance
- Hapus aplikasi media sosial: aplikasi di hape itu jauh lebih jago dalam mengambil perhatian kita ketimbang membukanya di browser di laptop. Salah satunya karena hape selalu kita bawa ke mana-mana dan ini bisa jadi kesempatan untuk mengecek media sosial.
- Buat device kita menjadi mesin bertujuan tunggal. Maksudnya adalah kalau lagi kerja ya hanya untuk kerja saja, jangan disambi dengan browsing yang nggak nyambung.
- Gunakan media sosial seperti profesional. Menggunakan media sosial berlebihan dan tanpa berpikir itu seolah-olah kita objek dari media sosial, bukan subjeknya. Carilah strategi untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudarat media sosial. Ya misalnya gunakan browser di laptop dan bukan ponsel, hanya ikuti orang-orang yang menginspirasi dan bermanfaat untuk kehodupan kita.
- Embrace slow media. Slow media adalah media yang tidak bisa dikonsumsi secara santai, tapi membutuhkan konsentrasi penuh dari penggunanya. Biasanya memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan media yang cepat. Salah satu caranya adalah dengan memilih sumber berita yang bagus, bukan hanya yang menyediakan breaking news tapi juga laporan-laporan yang isinya lebih mendalam.
- Dumb down your smartphone. Intinya pakai ponsel yang tidak pintar. Kalau masih ragu benar-benar meninggalkan ponsel di rumah saat pergi sebentar, bisa saja kita pakai ponsel biasa yang tidak banyak fiturnya supaya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pengalamanku Digital Decluttering
Aku memutuskan untuk digital decluttering selama 4 minggu di bulan Juli kemarin. Jadi nggak 30 hari penuh, cuma 28 hari aja supaya gampang ingatnya. Alasan lain yaitu karena aku nggak mulai di awal bulan banget, jadi lebih baik mulai di hari Senin dan nanti berakhirnya di Minggu minggu ke-4.
Aku ingin mencoba melakukan digital decluttering karena aku juga merasa bahwa banyak waktu dalam hidupku yang aku habiskan browsing dan scrolling mindlessly dan begitu selesai ya nggak memuaskan rasanya. Misalnya menghabiskan waktu berjam-jam di Twitter baca thread yang aneh-aneh atau di Reddit baca cerita-cerita kehidupan orang dan kadang-kadang menemukan sesuatu yang menyebalkan (biasanya debat politik lol) terus aku jadi kesel sendiri dan lanjut baca karena kesel. Ini sering banget kejadian dan ternyata memang salah satu cara yang digunakan perusahaan teknologi untuk menarik terus perhatian kita itu adalah dengan memberikan intermittent reward. Maksudnya adalah hadiah yang jarang-jarang, kayak scrolling tanpa tujuan di Twitter, nggak nyari apa-apa kan? Tapi kita akan terus melakukan itu karena kita berpikir, pasti nanti akan ada sesuatu yang menarik. Dan kemudian kalau kita lama scrolling pasti ada kan sesuatu yang menarik. Ini menjadi sumber dopamin, kita jadi senang, nah, bener kan, ada yang menarik! dan habis itu kita scrolling lagi terus sampai nemu yang menarik lagi. Padahal konten yang menarik itu ya cuma sedikit, banyaknya yang biasa-biasa aja. Atau contoh yang jelas lain adalah game gacha hahaha. Karena aku main juga dan aku sadar bahwa dia mengandalkan perasaan senang kita ketika dapat sesuatu yang kita inginkan banget, meskipun sebenarnya lebih jarang daripada kejadian-kejadian yang biasa saja.
Membuat aturan pribadi
Sehari sebelum memutuskan untuk mulai declutter, aku bikin beberapa aturan buatku sendiri, beberapa contohnya:
- Ereader is okay karena buat baca buku doang
- Youtube cuma buat video olahraga dan tutorial masak/programming
- Email, WA, dan LINE seperti biasa karena buat kerja
- Cek Storygraph dan Inoreader sehari maksimal sekali saja
Ada beberapa aturan lainnya. Banyak yang harus aku sesuaikan. Bukunya kan menyuruh kita buat sekalian aja nggak usah buka WA selama sebulan. Tapi kan nggak mungkin dalam keadaan pandemi ketika aku hampir nggak keluar rumah sama sekali. Aku juga kerja di perusahaan yang berhubungan sama game dan harus familiar sama game-nya. Jadi aku memperbolehkan diriku main game ini tapi cuma game ini aja dan cuma di jam-jam kerja. Jadi aku anggap main game ini adalah bagian dari pekerjaan aku. Aku juga membolehkan diriku buka Youtube untuk video olahraga dan tutorial. Karena Youtube selain sumber hiburan tapi juga sumber ilmu dan olahraga hahaha.
Pelaksanaannya
Selama melaksanakan digital decluttering aku sering bosan karena nggak bisa tiba-tiba buka thread Reddit atau nonton video Youtube untuk mengisi waktu luang. Jadi aku bawa Kobo ke mana-mana untuk baca buku. Aku jadi sering banget baca buku, setiap bosen dan bingung mau ngapain. Aku kadang-kadang juga harus menahan diri dari scrolling di Youtube setelah aku selesai nonton video tutorial hehehe. Aku ngebolehin diriku sendiri untuk pakai LINE karena aku pakai buat komunikasi dengan orang-orang terdekat dan juga buat kerja, sudah gitu aku nggak pernah buang-buang waktu di LINE juga jadi aku pikir oke. Tapi lama-lama aku jadi suka scrolling timeline LINE yang di waktu-waktu biasanya jarang aku buka hahaha. Saking bosennya.
Banyak aturan dan saran-saran di buku ini yang nggak bisa banget untuk dilakukan di masa pandemi. Aku hampir nggak keluar rumah sama sekali btw, keluargaku hati-hati banget sama pandemi ini dan untungnya kerjaanku juga seratus persen WFH. Jadi ya selama jam kerja aku harus buka laptop dan hape terus, selalu ngecek notifikasi karena aku memang harus available kan selama jam kerja.
Selama decluttering aku juga berhasil nggak buka twitter dan instagram sama sekali, sebenarnya ini nggak terasa berat karena pada dasarnya aku memang cukup jarang buka twitter dan instagram. Tapi sebenarnya menurutku mereka punya kelebihan yang pada akhirnya bisa mendekatkan kita ke teman-teman kita. Aku setuju dengan buku ini bahwa ngelike post orang di instagram nggak akan memberikan kesenangan sosial, komentar juga nggak terlalu, tapi aku sendiri sebenarnya ngerasa bahwa Instagram Story itu punya manfaat untuk catch up dengan teman-teman. Asal jangan cuma ditonton aja, tapi kita balas dengan DM terus bisa sekalian nanya kabar, lagi ngapain aja, itu di mana, itu lagi ngapain, dan sebagainya. Sering, kok, aku ngobrol sama teman yang sudah lama nggak berkomunikasi berawal dari Instagram Story.
Selain baca buku, aku juga berusaha mengisi waktuku sesuai beberapa saran yang dikasih di buku ini. Salah satunya yaitu yang fix or build something every week. Jadi pada satu weekend yang sepi aku akhirnya ngeluarin lagi mesin jahit untuk ngebenerin baju-baju aku yang udah sobek-sobek. Ada baju tidurku yang jahitannya udah lepas, ada baju adikku juga, cuma bener-benerin aja, sih, karena lagi nggak mood dan nggak ada bahan untuk bikin sesuatu yang baru.
Aku juga kepikiran untuk ninggalin hape di rumah karena memang benar, pergi nggak bawa hape itu bener-bener berasa anxious tapi masih belum kesampaian hahaha. Salah satunya karena aku hampir nggak ke mana-mana sama sekali dan kedua karena ya masih takut juga. Aku belum benar-benar lancar nyetir mobil dan pasti akan butuh lihat google maps kalau ke tempat baru. Tapi ya sambil nyetir aku nggak mungkin juga mainan hape jadi bawa hape bepergian menurutku nggak terlalu berpengaruh juga selama pandemi.

Paling banter ya kalau makan malam, aku akan meninggalkan hapeku di kamar sementara aku ke ruang keluarga untuk makan. Biasanya aku akan makan sambil main hape dan ini benar-benar bikin aku agak bengong sambil makan. Aku harus benar-benar konsentrasi ke makananku, kadang-kadang ikutan nonton TV karena itu hiburan yang menyala di depan mata, tapi aku berusaha untuk menghindari nonton juga, sih. Jadi aku akan cukup lama main sama kucing, aku ajak lari-lari sampai aku juga capek.

Meninggalkan hape juga terasa dampaknya waktu aku lagi di dapur. Misalnya lagi masak atau cuma menghangatkan makanan di microwave. Pasti masak itu banyak banget kan downtime-nya, waktu kita cuma menunggu aja tanpa melakukan apa-apa. Kalau pegang hape pasti enak banget ini buat scrolling–scrolling tanpa tujuan. Tapi kalau lagi nggak bisa, aku jadi harus mencari aktivitas lain untuk menghiburku. Entah melototin masakan, bengong ngeliatin semut, atau yang paling bermanfaat: mencuci piring. Hahaha gatau kenapa aku benci banget sebenarnya mencuci piring. Tapi kalau lagi di dapur, nunggu makanan di microwave dan nggak bisa lihat hape, ya mau ngapain lagi, akhirnya aku nyuci piring, deh. Ini sih yang menurutku benar-benar menggantikan waktu main hape yang nggak bermanfaat ke aktivitas yang memang mau nggak mau harus dilakukan.
Ini juga aku rasakan saat aku mau berolahraga. Biasanya aku menyisihkan waktu olahraga antara jam 4-6 sore, olahraganya sendiri paling cuma 20-40 menit, tapi lama di menunda-nundanya dan membuang-buang waktu. Selama aku digital decluttering, nggak banyak aktivitas yang bisa aku lakukan untuk membuang-buang waktu, jadinya begitu aku sudah merasa saatnya olahraga, ya aku langsung olahraga. Jadinya aku semakin rajin olahraga juga karena nggak keburu capek habis main hape nggak jelas hahaha.
Ada juga beberapa saran yang sudah aku lakukan sebelumnya, seperti yang consolidate texting. Di sini maksudnya itu mematikan notifikasi dan kita hanya ngecek pesan-pesan itu saat kita mau aja, jadi nggak akan “terpanggil” sama hape gitu. Karena pasti, deh, suara notifikasi itu bisa bikin kita cukup distracted. Aku sudah agak lama melakukan ini, dari jam 19.00 sampai 06.00 hapeku berada di mode Do Not Disturb. Nggak enaknya kalau malam-malam aku lupa naro hape di mana, nggak bisa ditelpon hahaha. Aku juga menghilangkan logo notifikasi dari notification bar, jadi cuma kelihatan kalau layar notifikasinya dibuka. Menurutku ini membantu karena jadi nggak “gatel” gitu lihat ada notifikasi.
Selain consolidate texting, aku juga udah mencoba mengonsumsi slow media. Aku akan menahan diri dari baca berita-berita yang judulnya sensasional karena memang biasanya kontennya kurang bagus. Pinginnya sih nanti akan cari berita yang bagusnya, tapi seringnya malah lupa jadi aku nggak up to date sama kejadian-kejadian. Tapi selain itu aku juga menggunakan Inoreader, yaitu sebuah RSS Reader yang aku gunakan untuk berlangganan tulisan-tulisan baru dari blog-blog lain yang aku suka tulisannya. Aku sendiri kan menggunakan WordPress, tapi banyak blogger lain yang menggunakan blogger, mungkin tumblr, dan lain-lain. Jadi untuk menyatukan semua blog yang aku ikuti, aku pakai Inoreader. Benar-benar berguna banget, terutama buat teman-teman sesama blogger yang ingin mengikuti blog-blog lainnya. Saat digital decluttering aku cukup rajin mengecek Inoreader-ku sekitar sehari sekali. Menurutku RSS itu adalah teknologi lama, slow media, yang masih sangat pantas untuk digunakan.

Di buku Digital Minimalism, ada contoh sesorang yang membeli jam tangan karena dia sering buka hape hanya untuk melihat jam kemudian jadi buka yang lain juga. Membeli jam tangan jadinya bermanfaat karena mengurangi kesempatan dia untuk buka hape. Buatku sendiri, aku sadar bahwa aku sering menonton Youtube pakai earbuds untuk menyumbat suara-suara berisik entah di dalam rumah atau suara anak tetangga main di jalanan. Aku jadi beli ear plugs atau penyumbat telinga supaya aku nggak harus pakai video Youtube untuk meredam suara berisik ketika aku ingin berkonsentrasi. Ini bagus juga, sih, karena kalau aku pakai video Youtube, kadang-kadang nyari video-nya sendiri akan jadi ladang buang-buang waktu.
Review bukunya sendiri

Buku ini punya banyak kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya, mungkin seperti yang bisa ditebak, dia punya banyak nasihat yang bisa langsung dipraktikkan. Dia juga ngasih kita beberapa hasil penelitian atau pernyataan dari perusahaan-perusahaan teknologi yang seharusnya membuat kita makin sadar bahwa kita perlu menganut minimalisme digital.
Tapi ada beberapa kekurangan bukunya yang bikin aku cukup kesal, sih. Jadi di dalam buku ini banyak banget cerita-cerita anekdot dari orang-orang yang mungkin bisa diambil pelajarannya. Nah tapi dia sering banget ngambil dari pengalaman Henry David Thoreau, Roosevelt, Aristotle, dan filsuf-filsuf zaman kuno lainnya. Ya nggak papa kalau hanya untuk pengantar saja, tapi ini benar-benar dibawa terus sampai akhir buku. Menurutku ya kehidupan orang-orang zaman baheula itu nggak nyambung aja dengan hidup kita semua zaman sekarang, ketika tersambung dengan teknologi dan internet itu adalah sebuah kebutuhan.
Hanya ada beberapa anekdot pendek dari orang-orang zaman sekarang. Menurutku malah itu yang paling berguna, karena kita bisa mencontoh kebiasaan dan batasan mereka dalam menggunakan media sosial dan teknologi. Kita juga bisa melihat trik-trik apa yang mereka gunakan untuk mengurangi godaan membuang-buang waktu di internet, yang tentu saja lebih nyambung daripada melihat keseharian orang zaman dulu seperti Thoreau. Setiap melihat nama dia aku jadi kesal aja, sih, seharusnya penulis bisa ngambil contoh yang lebih erat dengan kehidupan para pembaca bukunya. Tapi dia seringggg banget nyebut nama Henry David Thoreau.
Aku sudah selesai melakukan digital declutter. Saat ini memang waktu yang aku habiskan untuk menghabiskan waktu mindlessly di internet berkurang. Tapi memang sih, dari awal pelaksanaan aku sudah menunggu-nunggu kapan aku akan bisa main game lagi dan buka Reddit lagi. Jadi mostly hanya terasa sebagai detoks saja, bukan benar-benar meng-nol-kan penggunaan internet. Ini kembali ke masing-masing orang. Aku yakin pasti ada orang yang akan bisa mengamalkan nasihat buku ini dengan lebih baik.
Sejujurnya sekarang aku kembali ke buka-buka Reddit dan main game, tapi aku lebih punya batasan. Aku nggak akan memaksa diri menyelesaikan semua event di game yang aku mainkan kalau aku merasa event-nya nggak menarik, hanya demi mendapatkan hadiah yang bagus. Kalau dipikir-pikir, ngapain main game tapi nggak menghibur? Selain itu aku juga berusaha untuk lebih banyak membaca buku kalau sedang lengang. Aku juga berusaha untuk sering-sering meninggalkan hape di kamar kalau aku mau makan atau memasak atau mandi.
In the end, aku nggak menyesal membaca buku ini. Dia mendorong aku untuk bisa melakukan digital declutter selama 28 hari. Ada beberapa saran yang aku baca dan aku coba. Bagi teman-teman yang ingin mencoba menjauhkan diri dari godaan internet atau merasa menghabiskan waktu terlalu banyak tanpa mendapat manfaat di internet, buku ini cukup aku rekomendasikan.
Wah pembahasan nya sangat menarik dan aku sekarang masih susah ngontrol nya😁
LikeLike
Sudah baca buku ini ada yg bisa diterapkan ada yang nggak…apalagi mereka yang kerja dibidang digital marketing ga mungkin juga lgs digital declutter. Setuju memang memakai contoh org jaman dulu agak gak nyambung juga….
LikeLike