Cerita-cerita Pelosok dalam Lara Tawa Nusantara

Blurb

Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik dan gejolak ekonomi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi kita tidak tahu banyak tentangnya. Indonesia, juga adalah wilayah-wilayah yang kini seakan asing, pulau-pulau terpencil yang jauh dari radar Jakarta, yang kerap dianaktirikan oleh pembangunan, tempat-tempat yang jarang diberitakan media, yang tidak terdengar dan tidak bersuara, wilayah-wilayah yang terdepak dan kerap disebut sebagai “Indonesia yang merana”. Buku ini mencoba melihat Indonesia dari tempat-tempat yang jauh dan gamang.

Ulasan

Lara Tawa Nusantara adalah buku yang berisi pengalaman Fatris MF mengunjungi berbagai tempat di Indonesia. Sesuai dengan kata-kata di belakang bukunya tertulis “pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan” dan di tempat ini Fatris MF mengunjungi berbagai tempat terpencil di Indonesia seperti penangkaran orangutan di Kalimantan, kampung warga Bugis, kampung warga Toraja, dan daerah Pulau Samosir. Buku ini semacam catatan perjalanan yang dilengkapi dengan renungan penulis dan foto-foto yang sangat menarik.

Kampung-kampung dan Pariwisata

Ada sesuatu yang menarik yang aku sadari ketika membaca berbagai bab di buku ini. Setiap daerah yang didatangi penulis, seterpencil apapun itu, ingin sekali menjadi tujuan pariwisata. Mereka semua ingin menarik wisatawan sebanyak-banyaknya dan bahkan sebuah kecamatan kecil saja ada yang memiliki dinas pariwisata sendiri. Tapi uniknya, ada salah satu dinas pariwisata yang saking “nggak ada kerjaan”-nya, mereka sepertinya agak kaget waktu si penulis datang dan ingin meminta peta daerah sana. Mereka kebingungan mencari peta di gedung dinas pariwisata!

Pegawai kantor yang semula duduk-duduk bercerita sambil makan gorengan, kini sedikit sibuk mencari selembar peta untuk saya. Lima belas menit kasak-kusuk, bongkar-bongkar laci. Hasilnya nihil. Di kantor Dinas Pariwisata Mamasa tak satu pun peta Kabupaten Mamasa tersimpan.

Fatris MF dalam Lara Tawa Nusantara

Hal yang miris ketika penulis, Fatris MF, bertanya-tanya, apa yang ditonjolkan daerah ini sampai-sampai wisatawan akan ingin datan ke sini? Warga sekitar yang membawanya berkeliling bilang, “di sini ada air terjun, ada pantai, ada pemandian air panas…” tapi penulis sendiri berpikir di kampungnya hal seperti ini sudah biasa. Ini membuatku kepikiran juga, sih, buat kebanyakan orang di Indonesia, pasti wisata air terjun, pantai, dan pemandian air panas itu adalah sesuatu yang biasa. Aku yang di Jakarta mungkin akan bersedia pergi ke suatu air terjun di Jawa Barat untuk menghilangkan penat, atau mungkin ke yang sedikit lebih jauh kalau memang terkenal air terjunnya “wow” banget. Tapi apakah ada di antara kita, yang bukan orang Kalimantan misalnya, yang akan bersedia jalan-jalan ke pelosok Kalimantan untuk melihat air terjun? Kan ada di mana-mana?

Tentu saja ada saatnya wisatawan akan bersedia pergi ke tempat yang jauh hanya untuk melihat bentangan alam yang “biasa saja” tapi nggak benar-benar biasa saja juga, kan. Maksudku pasti harus ada sesuatu yang wah sampai wisatawan bersedia datang. Kenapa banyak wisatawan pergi ke air terjun Niagara? Kenapa banyak wisatawan pergi ke pemandian air panas di Hokkaido? Karena kedua tempat itu tidak biasa. Niagara itu air terjun terlebar dan merupakan batas dua negara. Pemandian air panas di Hokkaido itu adalah resor mewah dengan fasilitas yang macam-macam. Makanya aku jadi kepikiran, sulit sekali bagi kampung-kampung ini, yang bercita-cita menjadi pusat pariwisata, kalau ingin bisa bersaing dengan tempat-tempat yang sudah established duluan. Jangankan fasilitas, akses saja seringnya masih sulit.

Di sini tidak ada angkutan umum, atau Grabcar. Berjalan kaki di tengah kota pun harus rela mengarungi lumpur yang meluap dari drainase yang nihil. Hanya ada ojek dengan tarif tertinggi di muka bumi. Untuk 20 kilometer setara dengan harga satu gram emas. Sepeda motor akan berjalan di pinggir jurang yang setiap saat longsor, bahkan memasuki rimba dan tidak ada jalan yang layak sama sekali.

Fatris MF dalam Lara Tawa Nusantara

Aku ingat waktu mau mengunjungi salah satu candi di Jawa Barat. Sepertinya di sekitar daerah Garut. Saat itu kami sudah tahu tujuannya mau ke mana, tapi di jalan masih repot harus tanya warga, masuk jalan kecil, dan menuju ke candinya sendiri harus melewati jalan yang hanya selebar dua mobil. Susah juga mau mengembangkan pariwisata kalau aksesnya saja sulit. Padahal candinya sendiri sangat bagus, bersih dan terawat. Tapi ke sananya itu yang repot. Ini juga mengingatkan aku ketika berjalan-jalan di Vietnam. Kata orang kedutaan, di sana memang tempat wisata di daerah juga dipelihara oleh pemerintah pusat. Jadi aku pernah jalan-jalan ke sebuah kampung yang memang tempat wisata, bagusnya adalah bayar biaya masuknya gampang dan di dalam jelas-jelas ada polisi yang menjaga jadi cukup merasa aman. Sementara di Indonesia, kadang yang bikin malas masuk tempat wisata di perkampungan itu ya punglinya. Suka tiba-tiba ada anak-anak random yang datang ke mobil minta uang kebersihan lah, parkir lah, itu lah, padahal di pintu gerbang sudah bayar. Itu sih yang suka aku sayangkan kalau pengelolaan pariwisata kurang bagus.

Sesuatu yang sudah lama, diangkat kembali

Sesuatu yang cukup miris juga menurutku, adalah kepercayaan lokal yang seolah-olah dijadikan gimmick oleh dinas pariwisata. Padahal kemungkinan kepercayaan ini sudah tergerus ketika agama-agama asing datang ke Nusantara.

“Lihat, apa saja ada di Mamasa. Air terjun banyak, air panas lebih dari sepuluh titik, … ritual mengeluarkan mayat dari liang itu kami gelar setiap tahun di Kecamatan Nosu, acara tari-tarian, budaya, reiligius, Alu’ Mappurondo”

Mappurondo? Ajaran tua yang telah pudar itukah yang akan menjadi tujuan wisata? Bukankah ajaran itu sudah dinyatakan lenyap, setidaknya sejak kedatangan agama ke dataran tinggi ini?

Fatris MF dalam Lara Tawa Nusantara

Selain itu, ajaran yang sudah hampir hilang namun masih dijadikan ujung tombak pariwisata seperti misalnya perahu pinisi. Bapak-bapak tua yang dulunya mengendarai perahu ini merasa bahwa sudah tidak ada lagi pinisi sekarang karena pinisi yang belakangan ini dibuat dengan mesin. Itu sudah bukan lagi pinisi yang sesuai dengan tradisi. Tapi pasti ada juga sih pendapat lain yang akan mengatakan bahwa kita harus mengikuti perkembangan zaman, masa iya zaman sekarang hanya pakai angin saja, nanti kalah cepat dong sama perahu biasa? Kalau pinisi malah benar-benar hilang kalah teknologi bagaimana?

Foto-foto

Aku sukaaaa banget buku Lara Tawa Nusantara ini dilengkapi dengan banyak foto di setiap akhir bab. Setiap daerah ada foto-fotonya sendiri dilengkapi dengan penjelasannya. Ini membantu aku untuk membayangkan daerahnya seperti apa, orang-orangnya seperti apa, baju yang mereka pakai seperti apa, dan lain-lain. Foto-fotonya juga bagus banget, berwarna-warni tapi bukan pakai kertas mengkilap jadi ingat waktu dulu suka lihat foto-foto di koran karena sekarang udah jarang pegang koran kertas hehehe. Beberapa contoh foto-fotonya aku masukkan ke sini, bisa dilihat di bawah ini.

Perspektif Penulis

Sekarang-sekarang ini setiap kali membaca cerita yang kebanyakan tokohnya laki-laki atau lihat panel talkshow yang semuanya laki-laki aku nggak bisa nggak sadar. Buku ini juga kebanyakan membawakan cerita laki-laki yang ada di tempat itu. Nggak terlalu aku salahkan sih karena si penulisnya, Fatris MF, juga laki-laki jadi mungkin dia lebih dia nongkrong sama warga laki-laki (btw aku sampe nyari medsosnya loh dia beneran laki-laki apa engga hahaha). Misalnya di warung-warung, dia bakal nongkrong dan ngajak ngobrol warga sekitar yang mau diajak bercerita. Menurutku ini cara riset yang baik. Tapi kadang-kadang aku jadi penasaran juga bagaimana, sih, kehidupan perempuan-perempuan di sana. Apakah wisatawan perempuan yang datang sendiri merasa aman di tempat ini? Penulisnya menghabiskan sebagian besar perjalanannya bercengkerama dengan laki-laki lain. Aku harap sih bakal ada juga penulis-penulis wisata perempuan yang karyanya bisa aku baca dalam waktu dekat. Kalau teman-teman ada rekomendasi penulis wisata perempuan, coba komentar, ya.

Kesimpulan

Buku ini menarik sekali, aku suka banget baca pengalaman si penulisnya keliling-keliling daerah yang berbeda di Indonesia. Foto-foto di dalamnya juga bikin makin menarik, bisa membantu aku membayangkan daerahnya seperti apa. Karena ini kan yang aku sayangkan waktu baca Garis Batas, yaitu nggak ada foto. Fotonya bagus, ceritanya menarik, tempatnya bervariasi, menambah pengetahuan aku juga soal tempat-tempat di Indonesia yang kebanyakan ingin menjadi tujuan pariwisata. Bingin aku pingin jalan-jalan juga sih, hehehe.

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s